» » Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika Cinta Harus Memilih

Cinta bukan hanya bagaimana dapat memiliki tapi cinta juga bagaimana caranya rela melepaskan

Cover Ketika Cinta Harus Memilih
By : Jeni And Maya


Aku pandangi wajah yang ada di sampingku. Ada gurat kesedihan saat aku melihat ke raut wajah itu. Binar bahagia yang biasa terpancar di wajah itu tiba-tiba tak kulihat lagi. Wajah itu terlihat meredup dan gusar. Namun pesona dan membuat jantungku berdegup kencang masih tetap melekat di wajah coklat itu.

"Ada apa denganmu?" Tanyaku dalam hati.

"Kenapa kau nampak murung, adakah salahku yang membuatmu sedih? Andai aku penyebab semua kesedihanmu, aku tak dapat memaafkan diriku?"

"Bukankah sampai sekarang aku masih duduk di sampingmu? Bukankah aku telah berjanji akan tetap setia sampai maut memisahkan kita? Engkau adalah sosok yang memberi kedamaian dalam hidupku. Engkaupun tahu aku begitu nyaman dan terlindungi karenamu. Tapi mengapa ada kesedihan di wajahmu? Aku bingung dengan sikapmu hari ini."

Sementara aku terus memandangimu tanpa berkedip sedikitpun. Walau jari-jarimu sibuk menekan keybord laptopmu namun aku tahu konsentrasimu saat itu terbagi. Hingga akhirnya engkau hentikan tarian jari tanganmu, dan pandanganmu beralih padaku. Saat itu mata kita beradu pandang dalam kebisuan.

Dalam pandangan itu mata kita bicara tentang sesuatu yang tak kutemukan aksara yang kau ucapkan selain kesedihan yang bisa aku terjemahkan.

"Kita keluar yuk."

"Kemana mas?"

"Jalan aja dulu."

"Kamu kenapa mas?" Aku sudah tidak sanggup menahan rasa ingin tahuku.

"Nanti kita ngobrol ya, sekarang aku ingin berlama-lama dekat denganmu."

"Loh mas mau pergi ya?"

Mas Jen tidak menjawab pertanyaanku, dia mengambil jaket yang terletak di sandaran kursi dan mengalungkannya ke tubuhku. Di ambilnya kontak motornya dari atas meja yang terletak tidak jauh dari laptopnya.

"Tapi mas itu naskahnya belum selesai, katanya sudah ditunggu penerbit."

"Nanti saja, aku belum bisa fokus kesitu."

Kami kuliah di Universitas yang sama hanya saja fakultas kami berbeda dan Mas Jen tinggal menunggu wisudanya bulan depan sedangkan aku baru semester dua. Mas Jen bekerja sambilan disalah satu surat kabar media lokal.

Hubungan kami sudah berjalan dua tahun saat aku masih duduk di bangku SMA. Kami berkenalan di acara pesta ulang tahun temanku. Waktu itu Mas Jen datang bersama dua orang teman lelakinya bukan sebagai tamu dari pesta itu, tapi karena mereka kakak dari Dewi yang sedang merayakan hari jadinya.

Waktu itu motorku mendadak mogok dan Mas Jen mengantarku pulang. Sejak saat itu kami jadi sering bertemu dan selalu saja ada alasan untuk bertemu.

Mas Jen yang penuh perhatian dan selalu ada waktu saat aku dalam kesulitan. Tak ada yang pernah menduga pertemuan berlanjut hingga akhirnya kami mengikat janji untuk setia dan saling menyayangi.

Seperti halnya Mas Jen yang sabar dan penuh perhatian untuk selalu membantu setiap kesulitanku akupun begitu. Aku rela saat dia butuh teman saat menyelesaikan tugas kuliah dan pekerjaan sampingannya.

Sore ini mas Jen sedang sedih, tapi dia tidak mau menjelaskannya padaku, ini mengundang tanyaku.

Aku duduk di boncengan motornya dengan nyaman. Aku peluk pinggang Mas Jen dari belakang terasa hangat dan damai bila berdekatan dengannya. Dua tahun usia hubungan yang kami bina belum pernah sedkitpun dia menyentuh titik lukaku. Mas Jen yang penyabar dan penyayang itulah yang membuatku begitu takut kehilangannya.

"Mas kita ke rumah ku dulu ya."

"Ya tidak apa-apa."

Begitulah Mas Jen tidak pernah menolak apapun keinginanku. Bahkan kadang dia lebih mementingkan inginku dari pada keinginannya sendiri.

"Handponku ketinggalan Mas."

"Ya, kita mampir ke rumahmu dulu tak apa."

Tidak sampai sepuluh menit kami sudah sampai di rumahku. Rumahku selalu sepi bagai tak berpenghuni. Kedua orang tuaku bekerja. Ayahku pegawai perusahaan swasta sedangkan mamaku kasir di bank swasta. Kedua orang tuaku biasanya sampai di rumah jam lima sore. Kami punya dua hari untuk menikmati kebersamaan, yaitu hari sabtu dan minggu.

Aku turun dari motor dikuti oleh Mas Jen. Mas Jen duduk di kursi teras rumah sementara aku masuk mengambil handpond-ku.

"Mas mau minum dulu, aku buatkan ya."

"Boleh, kau bisa buatkan aku teh jangan dikasih gula ya."

"Kok nggak pake gula? Teh pahit dong."

"Teh buatanmu pasti manis walau tidak pakai gula."

Mas Jen menyentuh pipiku. Mata Mas Jen menatapku lekat-lekat. Meski ia mengukir senyum di bibirnya dengan garis kumis tipis yang melengkung di atasnya tetap saja aku bisa menangkap ia menyembunyikan sesuatu dariku.

"Ih! Gombal ah!" Aku menepis perlahan tangannya. " Tunggu ya aku buatkan teh yang paling manis tanpa gula."

"Baik, tapi nggak pake lama ya." Tangan Mas Jen menarik tanganku lembut.

"Kalau begini, bagaimana aku bisa membuatkan teh untukmu Mas." Aku menggoyang-goyangkan tanganku yang masih dalam genggamannya.

"Baik aku lepas, tapi benar jangan lama ya."

"Nggak lama, tunggu dua kali dua puluh empat jam, aku datang bawa teh untukmu." Aku masuk ke dalam rumah untuk menyeduh teh untuk Mas Jen.

Rasa ingin tahu kembali mengusikku, apa yang membuat Mas Jen sedih? Dan mengapa ia belum mau mengatakannya padaku.

"Halo teh pesanannya sudah datang." Aku kembali ke teras rumah dengan secangkir teh hangat untuknya.

"Terima kasih sayang, ini pasti teh ternikmat yang pernah aku rasakan." Mas Jen menyeruput tehnya.

"Mas, bener belum mau cerita ya?" Aku kembali mencoba agar Mas Jen mau cerita apa masalahnya.

"Nanti saja, aku pasti cerita kok."

"Kenapa harus nanti Mas?"

"Nanti tunggu waktu yang pas."

"Kapan sih?" Aku mulai merajuk kesal.

"Oh ya sebentar lagi mama dan papamu pulang."

Aku menengok jam di ponselku. Sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Ya." Aku hanya menjawab singkat.

"Kita tunggu mereka pulang dulu ya, nanti kita jalan, akan aku tunjukkan tempat yang indah dan kita ngobrol di sana, ok."

"Baiklah, aku setuju."

Entah apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Aku sangat takut kehilangan Mas Jen. Aku bingung masalah apa yang sedang dihadapinya. Tapi aku mana mungkin untuk memaksanya bicara menceritakan masalahnya.

Aku takut Mas Jen tersinggung dan berprasangka kalau aku tidak percaya padanya. Lebih buruk lagi bila sampai aku membuatnya terpaksa bicara karena aku selalu mendesaknya. Akhirnya aku memilih menunggu saja sampai Mas Jen memutuskan sendiri untuk bicara padaku tentang masalahnya. Aku sangat percaya Mas Jen akan bicara. Dan aku harus bersabar.

Bersambung...!

Tags: Cerpen
Judul Ketika Cinta Harus Memilih
Author Diposting Oleh : Maya-Jeni Wap's 2016-08-30 07:32:39
Rating 3 / 5
Back to posts
Facebook Comments Plugin

Share On

 
 
MAYAJENI

Duck hunt