Duck hunt
» » Ibu Sangat Sayang Padaku

Ibu Sangat Sayang Padaku

Sayang ibu pada anaknya sama, hanya kadang kita terlalu banyak menuntut
Kini Aku Percaya Ibu Sangat Sayang Padaku




Aku cemburu terhadap Dela adikku. Tidak banyak yang aku inginkan dari ibuku. Aku hanya butuh kasih sayang dari ibu, entahlah aku melihat adiku sangat diistimewakan oleh ibuku.

Dela adalah saudara kembarku. Ibu sangat mengistimewakan adik kembaranku ini, keinginannya selalu ibu turuti, saat Dela mengikuti lomba menyanyi ibuku hadir memberi semangat. Apalagi waktu Dela memenangkan lomba itu, ibu memeluk dan memberikan ucapan selamat bahkan ibu menuruti keinginan Dela untuk jalan-jalan ke Singapur sekedar merayakan kemenangannya itu. Ibu dan Dela berangkat ke Singapur waktu itu.

Sedangkan aku..,
Seperti hari ini betapa sedih dan hancurnya perasaanku mendapati perlakuan ibu.

Aku hari ini mengikuti lomba pembacaan puisi yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten. Aku sangat bersemangat mengikuti lomba ini. Aku menawarkan pada ibu agar ikut menyaksikan aku di lomba ini. Padahal waktu Dela ikut lomba menyanyi ibu dengan sukarela untuk hadir. Tapi tidak untuk aku, aku anak ibu jugakan?
Kenapa ibu tidak mau memberikan sedikit saja perhatiannya untukku.

Aku berusaha tetap tegar dan mengikuti lomba pembacaan puisi walau ibu tidak hadir menyemangatiku. Dengan perasaan sedih dan kecewa aku tetap memohon doa dari ibu untuk kemenanganku.

Sampai di aula Dinas Pariwisata Kabupaten banyak ibu-ibu yang mengantarkan dan menemani anak-anaknya untuk mengikuti lomba pembacaan puisi.

"Ah! Betapa senangnya bila ibu bisa hadir bersamaku di sini." Aku berguman pelan, air mataku terbendung di kelopak mataku dan aku berusaha untuk tetap menahannya dengan sekuat hati agar tidak tumpah membasahi pipiku. ku duduk di kursi yang disediakan oleh panitia. Aku duduk di antara ibu-ibu. Ada ibu yang berkerudung biru, usianya mungkin tak jauh beda dengan usia ibuku. Wajahnya bundar bibirnya tipis. Matanya sipit, ada lesung pipit di kedua pipinya yang mulus bersih. Dia duduk di sisi kananku. Dia tersenyum padaku dan menyapa sangat ramah. "Ah sosok ibu yang aku idamankan." Hatiku berbisik bibirku membalas senyumannya. Sangat jelas aku lihat lesung di pipinya menambah manisnya ibu di sampingku ini.

"Sendirian ya nak?" Tanya ibu itu.

"Iya bu." Aku tertunduk menyembunyikan kesedihanku.

"Wah, kamu hebat berani sendiri datang untuk ikut lomba ini." Tangan ibu itu menyentuh pundakku, mengusap lembut walau hanya sesaat terasa hangat dan nyaman sekali.

"Terima kasih bu." Aku masih tetap menunduk, ya aku tak ingin ibu itu mengetahui kesedihan yang aku simpan dalam hatiku. Konon kesedihan bisa nampak lewat pandangan mata, karena itulah aku tak berani menatapnya,

Entah mengapa aku sangat nyaman di dekat ibu ini, aku pikir tentu anaknya sangat bahagia mempunyai ibu yang sangat perhatian pada anaknya. Apalagi mempunyai waktu untuk menemani anaknya disaat-saat mengikuti lomba seperti ini.

"Usiamu berapa nak?" Tanyanya lagi.

"Dua ...., tiga belas tahun bu."

"Oh jadi ikut lomba tingkat SMP ya?"

"Ya."

"Ibu kira tadi kamu ikut lomba tingkat SMA, kamu bongsor." Ibu itu tertawa tertahan.

Lomba pembacaan puisi ini diikuti oleh tingkat SD, SMP dan SMA. Ya ibu itu benar tubuhku memang bongsor. Apalagi kalau sedang tidak memakai seragam sekolah orang menyangka aku sudah SMA. Padahal aku masih SMP.

Aku bertekad untuk memenangkan lomba ini untuk membuat ibuku bangga dan mendapatkan pelukan hangat dari ibuku. Sambil menunggu nomor urutku dipanggil aku terus berdoa agar aku bisa jadi juara di lomba pembacaan puisi ini. Aku yakin ibu akan senang dan akan memelukku. Ibu pasti akan membagi kasih sayangnya yang ia berikan pada adiku Dela.

Akhirnya nomor urutku dipanggil. Aku menarik nafas dalam-dalam. Bangkit dari tempat dudukku menuju panggung untuk membaca puisi andalanku. "Bismillah." Aku berdoa untuk mendapatkan kemenangan.

"Selamat berjuang ya nak, semangat!" Suara ibu itu memberikan semangat padaku.

Aku masih sempat menoleh dan tersenyum pada ibu itu. Dia pun tersenyum dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya menunjukkan kepadaku kedua ibu jarinya. Entah apa yang ada dalam benakku, Aku melihat itu adalah wajah ibuku. "Ya bu, tolong doa-in ya ..." Suara hatiku.

Aku mulai membaca puisi andalanku, puisi karanganku sendiri.

Ibu
Kau adalah lentera dalam gelapku
Cahayamu menerangi langkahku
Sinarnya memberi terang dalam pekatku
Binar bahagiamu ku perjuangkan untukmu


Ibu
Kau lah penyemangat dalam resahku
Doamu memelukku dalam damai
Membelaiku penuh kasih
Meredam setiap kesedihanku


Ibu ........... dst

Aku menutup puisiku, tak terbendung lagi anak sungai mengaliri pipiku. Wajah ibuku terbayang lekat di mataku. Bahagianya bila ibu ada saat ini dan memberikan pelukan hangatnya disaat-saat begini.

Aku mendengar tepuk tangan yang sangat meriah, tapi terasa hening tanpa ibu hadir di sini. Aku kembali duduk ditempat semula, tapi tak kutemui ibu berkerudung biru tadi. Mataku mencari-cari keberadaan ibu yang duduk di sebelah kananku tadi. "Kemanakah ibu berkerudung biru itu?" Gumanku pelan.

Aku bertanya-tanya dalam hati, aku merasa kehilangan. "Mungkin ibu berkerudung biru itu sedang keluar? Atau sudah pulang? Ah! Sial mengapa aku tadi tidak bertanya pada ibu berkerudung biru itu, sedang menemani anaknya kah? Anaknya yang mana? Ya ampun, Aku baru menyadari kebodohanku.

Aku berharap nanti bisa bertemu lagi dengan ibu berkerudung biru tadi. Aku akan berkenalan dengannya dan dengan anaknya.

Akhirnya tibalah saat pengumuman lomba pembacaan puisi. Aku mulai berdebar-debar, harap-harap cemas, "mungkinkah aku bisa memenangkan lomba pembacaan puisi ini?"

Aku terus berdoa dalam hati. "Ya Allah beri aku kesempatan, aku ingin membuat ibuku bangga, aku ingin mendapatkan pelukan hangat dan kasih sayang ibuku, aamiin."

Bagai terbangun dari mimpi panjang, aku tersentak kaget, manakala nomor urutku disebutkan sebagai pemenang.

"Aku ...., aku juara satu bu ....!!!" Tanpa aku sadari aku memekik kegirangan, aku melompat-lompat tak peduli orang sekitar menatapku dengan tatapan apapun.

Aku mulai membayangkan ibuku memeluku, menciumku, memberi ucapan selamat. Yah aku berjuang untuk mendapatkan kasih sayang ibuku.

Aku maju untuk mengambil hadiahku, ada piala, piagam dan uang pembinaan. Aku sangat senang saat itu. Ku tatap wajah-wajah yang ada di hadapanku dari atas panggung, aku mencari ibu berkerudung biru tadi.

Senyumku tertuju pada ibu berkerudung biru. Ya, dia ada di antara ibu-ibu yang di depanku. Tangannya melambai-lambai padaku, dia acungkan kedua ibu jarinya padaku. Aku membalas senyumnya, aku angkat pialaku untuk ku tunjukkan padanya.

"Bu ...., bu ...., bu ...." Panggilku

Aku turun dari atas panggung aku langsung menuju ke tempat ibu berkerudung biru itu. "Di mana ibu tadi? Tadi dia ada di sini, kok nggak ada?" Aku kehilangan ibu berkerudung biru itu lagi. Aku tidak tahu kemana ibu itu pergi. Sia-sia aku mencari di seluruh ruangan aula ini, aku tidak menemukannya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja, aku yakin ibuku pasti sedang menungguku.

Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera pulang dan sampai di rumah secepatnya. Aku ingin tunjukkan pada ibu piala yang aku dapatkan dan aku sangat ingin dipeluk ibuku. ku bergegas pulang dengan naik angkot menuju rumahku.

*****


Assallamuallaikum ...." Aku masuk rumahku tanpa mendapat jawaban salam, pintu rumah tidak dikunci.

Aku menuju ruang keluarga, di ruang keluarga biasanya ibu melakukan hampir semua aktivitasnya, menyulam, membaca, menonton tv, mengetik naskah untuk dikirim ke media cetak karena ibu juga bekerja sebagai penulis naskah pegawai lepas di media cetak lokal. Di ruang keluarga juga biasanya ibu bercengkrama dengan adik kembaranku Dela.

"Oh sudah pulang? Cuci tanganmu terus makanlah dulu." Ibu seakan bukan sedang bicara padaku, pandangannya tak beralih dari monitor note book di hadapannya.

"Bu ...., bu lihat ini, Dewi juara satu lomba membaca puisi tingkat kabupaten bu ...." Suaraku bergetar menghiba dan berharap ibu memberikan pelukan hangatnya. Tapi aku kembali harus menerima perlakuan ibu. Ibuku terlihat biasa-biasa saja.

"Bu ...., pialanya Dewi pajang di lemari kaca ini ya bu?" Aku masih terus berharap.

"Itu tempat piala Dela adikkmu, pialamu taruh di kamarmu saja."

Hatiku benar-benar terasa tersayat sembilu. Dengan tertunduk lesu dan kecewa aku menuju kamarku. Air mata kesedihan membasahi pipiku. "Mengapa ibu tak mau membagi kasih sayang yang ia berikan pada Dela adiku?"

Pupus sudah harapanku untuk mendapatkan pelukan hangat dari ibuku. Aku merasa tidak disayang oleh ibu. Aku merasa tidak mendapat perhatian dari ibu. Aku menangis, aku kecewa, aku sedih.

Aku ingin pergi saja dari rumah ini. Aku tidak bisa menerima perlakuan ibuku kandungku yang tidak mau membagi kasih sayangnya untukku. Ibu sayangi aku bu.

Aku duduk di kursi belajar di dalam kamarku. Ku pandangi piala hasil perjuanganku. Aku teringat ibu berkerudung biru di saat lomba tadi. "Siapa ibu berkerudung biru itu ya? " Pikirku.

Akhirnya aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Ibu dan Dela juga Ayah.

Aku menginap di rumah teman sekolahku. Aku berbohong pada orang tua temanku dengan mengatakan bila aku sudah meminta izin pada orang tuaku.

Aku merasa nyaman di rumah Ria. Orang tua Ria sangat perhatian padaku. Meski Ria anak orang sederhana, ayah Ria petani dan ibunya membantu pekerjaan ayahnya di sawah, tapi aku merasakan kehangatan kasih sayang di keluarga ini.

Hari Sabtu dan Minggu aku berada di keluarga ini. Hingga akhirnya di Minggu sore datang mobil rush silver di depan rumah Ria. Aku mengenali mobil itu, itu adalah mobil ayahku.

"Nak, kenapa pergi tidak pamit pada ayah dan ibu?" Tanya ayah padaku.

Kak, ibu sakit ...., sekarang ibu dirawat ..., dirumah sakit, ibu selalu memanggil-manggil kakak." Kata-kata Dela membuatku tersentak, tangisku pecah seketika. Jadi ibu mengkhawatirkanku? Apakah ini benar? Batinku dalam hati.

Ayolah kita pulang nak, temui ibu ya." Suara ayah membuatku semakin haru dan membuat air mataku semakin deras mengalir.

Aku mohon diri pada kedua orang tua Ria, tak lupa aku mohon maaf sudah berbohong pada mereka.

"Tidak apa-apa, sebenarnya kami sudah memberitahukan keberadaan mu di sini pada kedua orang tua mu." Ternyata ayah dan ibuku sudah tahu aku ada di rumah Ria. Tapi mengapa ibu sampai sakit?

Aku langsung menuju rumah sakit dengan ayah dan Dela untuk menemui ibu. Air mata penyesalan terus membasahi pipiku.

Sampai di rumah sakit aku, ayah dan Dela langsung menuju ICU dengan memakai pakaian yang telah di setrilkan terlebih dahulu.

Aku melihat ibu terbaring lemas dengan oksigen terpasang di hidungnya. Aku menangis, sedu sedanku membuat ibu terbangun. Aku melihat ibu tersenyum padaku, ya senyum yang sangat tulus, senyum yang selalu aku rindukan, senyum yang selalu aku nanti-nantikan. Wajah ibu yang pucat itu tampak berseri dengan senyuman manis itu.

"Bu ...., bu maafin Dewi ya bu."

Ibuku menggeserkan tangannya hingga menyentuh tanganku. Ah rasanya sentuhan itu sudah lama aku harapkan. Sentuhan tangan ibu yang aku rindukan.

"Dewi anak ibu." Suara ibu yang parau membuatku melambung saat ibu memanggilku anak. Anak? Ya bu Dewi anak ibu, batinku yang bicara.

Aku menahan tangisku. Aku tak ingin suara sedu sedanku membuat ibu terhenti karena suara tangisanku. Aku ingin ibu sesering mungkin memanggilku anak

"Dewi, ibu sangat sayang padamu." Rasanya aku ingin segera memeluk ibu, mencium ibu, kata-kata ibu sangat membuatku bahagia, kini aku tahu ibu sayang padaku, walau kemarin-kemarin ibu tak pernah mengatakannya.

"Iya bu, Dewi juga sayang ibu."

"Meski perlakuan ibu berbeda terhadapmu tapi percayalah ibu sangat sayang padamu. Dewi anak ibu yang kuat dan mandiri."

"Kenapa begitu bu?" Aku tidak mengerti.

"Kasih sayang ibu sama nak, ibu selalu mendoakanmu, ibu juga ada saat kau mengikuti lomba, hanya saja kau tak melihat ibu, karena kau selalu merasa tidak diperhatikan."

Aku teringat ibu yang berkerudung biru saat lomba puisi. Ah apakah itu ibu?

"Anakku, mungkin di dunia ini kau berpikir tak ada yang bisa kau percayai, tapi satu yang harus selalu kau ingat baik-baik, bahwa kasih sayang ibu selalu ada untuk mu, Dewi anakku."

Kini aku sadar bahwa ibuku sangat sayang dan perhatian padaku, hanya saja aku terlalu menuntut perhatian berlebihan pada ibu. Aku harus bisa menjaga perasaan ibu, aku tidak ingin ibu jatuh sakit karena ulahku.

Aku peluk ibuku, terasa tangan ibu mengusap lembut punggungku. Air mata haru, bahagia dan penyesalan tertumpah saat itu.

Aku berbisik perlahan di telinga ibu, "maafkan Dewi ya bu, Dewi selama ini salah mengartikan kasih sayang ibu, Dewi menyesal bu ...," tangisku kian menjadi. Aku merasakan usapan tangan adiku, ayah dan ibu di punggungku.

*****


Kadang kita merasa tak disayangi, tidak diperhatikan tapi ketahuilah kadang kita terlalu banyak menuntut hingga hati kita buta dan merasa tidak mendapatkan kasih sayang.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita akan mengetahui bagaimana cara menyayangi dan akan merasakan kasih sayang. Semua butuh proses untuk memahami


Tag : Ibu Sangat Sayang Padamu, Ibu Sangat Sayang Padamu, Ibu Sangat Sayang Padamu

Tags: Cerpen
Judul Ibu Sangat Sayang Padaku
Author Diposting Oleh : Maya-Jeni Wap's 2016-10-17 07:32:09
Rating 3 / 5
Back to posts
Facebook Comments Plugin

Share On

 
 
MAYAJENI